Surat Makiyah dan Madaniah
Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas mata
kuliah
Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu
Abu Bakar M.Ag
Oleh:
AHMAD SHUFFIDUNPRIMANADIN
210412012
Tafsir Hadits
Jurusan Ushuluddin
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONOROGO
DESEMBER 2012
BAB I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Para Ulama’ antusias untuk menyelidiki
surat-surat Makkiyah dan Madaniyah. Mereka meneliti Al-Qur’an ayat demi ayat
dan surat demi surat untuk ditertibkan sesuai dengan turunnya, dengan
memperhatikan waktu, tempat, dan pola kalimat. Lebih dari itu, mereka
mengumpulkan antara waktu, tempat dan pola kalimat. Cara demikian merupakan
suatu kecermatan yang memberikan kepada peneliti gambaran mengenai kebenaran
ilmiah tentang ilmu Makkiyah dan Madaniyah. Itulah sikap Ulama’ kita dalam
pembahasan-pembahasan terhadap Al-Qur’an dan juga masalah lain.
Tema-tema seputar Makki dan Madani ini sangat banyak ragam
penyelidikannya. Abu Qasim Al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi
menyebutkan dalam kitabnya At-Tanbih ‘Ala
fadhli ‘Ulum Al-Qur’an, “ Bahwa di antara ilmu-ilmu Al-Qur’an yang paling
mulia adalah ilmu tentang nuzul Al-Qur’an dan wilayahnya, urutan turunnya di
Makkah dan di Madinah, tentang hukumnya yang diturunkan di Makkah tetapi
mengandung hukum Madani dan sebaliknya; yang diturunkan di Makkah, tetapi
menyangkut penduduk Madinah dan sebaliknya; serupa dengan yang diturunkan di
Makkah, tetapi pada dasarnya termasuk Madani dan sebaliknya. Juga tentang yang
diturunkan di Juhfah, di Baitul Maqdis, di Tha’if maupun Hudaibiyyah. Demikian
juga tentang yang diturunkan diwaktu malam, diwakktu siang: diturunkan secara
bersama-sama,[1]atau
yang turun secara tersendiri: ayat-ayat Madaniyah dalam surat-surat Makkiyah;
ayat-ayat Makkiyah dalam surat-surat Madaniyah; yang dibawa dari Makkah ke
Madinah dan sebaliknya; dan yang dibawa dari Madinah ke Habasyah;[2] yang diturunkan dalam
bentuk global dan yang telah dijelaskan; serta yang diperselisihkan sehingga
sebagian orang mengatakan Madani dan sebagian lagi mengatajan Makki. Itu semua
ada dua puluh lima macam. Orang yang tidak mengetahuinya dan tak dapat
membeda-bedakannya, ia tidak berhak berbicar tentang Al-Qur’an.[3]”
BAB II
Pembahasan
A.
Pengertian Ilmu Makki dan Madani
Para Sarjana Muslim mengemukakan empat
perspektif dalam mendefinisikan terminology Makki(Makiyyah) dan Madani(Madaniyah).
Keempat perspektif itu adalah:
1. Massa turun (zaman an-nuzul)
2. Tempat turun (makan an-nuzul)
3. Objek pembicaraan (mukhatahab)
4. Tema
pembicaraan (maudu’).[4]
1) Dari perspektif Masa turun(zaman an-nuzul), mereka mendefinisikan
kedua terminology diatas sebagai berikut;
Makiyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan
sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun tidak turun di Makkah.
Sedangkan,
Madaniyyah ialah ayat-ayat yang
diturunkan sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun tidak turun di
Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut Madaniyya
walaupun turun di Makkah atau Arafah.[5]
Dengan demikian, surat An-Nisa’[4:58][6]
termasuk kategori Madaniyyah kendatipun diturunkan di Makkah, yaitu pada
peristiwa terbukanya kota Makkah (fath
al-Makkah). Begitu pula surat
Al-Ma’idah[5:3][7]
termasuk kategori Madaniyyah kendatipun tidak diturunkan di Madinah karena ayat
ini diturunkan pada peristiwa haji wada’.[8]
2) Dari perspektif Tempat turun(makan an-nuzul), mereka mendefinisikan
kedua terminology diatas sebagai berikut;
Makiyyah
ialah ayat-ayat yang diturunkan di madinah dan sekitarnya, seperti Mina,Arafah,
dan Hudaibiyyah. Sedangkan,
Madaniyyah
ialah ayat-ayat yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud,Quba’
dan Sul’a.[9]
Terdapat
celah kelemahan dalam pendefinisian di atas sebab terdapat ayat-ayat
tertentu,yang tidak diturunkan di Makkah dan Madinah dan sekitarnya. Misalnya
surat At-Taubah[9:42][10]
diturunkan di Tabuk, surat Az-Zukhruf[43:45][11]
diturunkan di Bait Al-Muqadas, dan surat Al-Fath[48] diturunkan ditengah
perrjalanan antara Makkah dan Madinah. Ketiga ayat di atas, jika melihat
definisi yang kedua, maka tidak dapat di kategorikan dalam Makiyyah dan
Madaniyyah.
3) Dari perspektif Objek pembicaraan(mukhatahab), mereka mendefinisikan kedua
terminology diatas sebagai berikut;
Makiyyah
ialah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang makkah.
Sedangkan,
Sedangkan,
Madaniyyah
ialah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Madinah.[12]
Pendefinisian
di atas dirumauskan oleh para Sarjana Muslim berdasarkan asumsi bahwa
kebanyakan ayat Al-Qur’an yang dimulai dengan lafadz”Yaa Ayyuhan-naasu” menjadi criteria Makiyyah. Dan lafadz “Yaa Ayyuhal-ladziina” menjadi criteria
Madaniyyah. Namun, tidak selamanya asumsi tersebut benar. Misalnya surat
Al-Baqarah[2] termasuk kategori Madaniyyah, padahal didalamnya ada salah satu,
yaitu ayat 21 dan 168[13]
dimulai dengan lafadz ”Yaa Ayyuhan-naasu”. Banyak pula ayat
Al-Qur’an yang tidak dimulai dengan dua lafadz diatas.
4) Adapun pendefinisian Makiyyah dan
Madaniyyah dari perspektif tema pembicaraan, akan disinggung lebih terinci
dalam uraian karakteristik kedua klasifikasi tersebut.
Kendatipun
menggunggulkan pendefinisian Makiyyah dan Madaniyyah dari perspektif Masa
turun, Subhi Shalih melihat komponen-komponen serupa dalam tiga pendefinisian
di atas. Pad ketiga pendefinisian ini terkandung komponen masa, tempat dan
orang.[14]
Bukti lebih lanjut dari tesis Subhi Shalih di atas dapat dilihat dalam kasus
surat Al-Mumtahanah[60]. Bila dilihat dari perspektif Tempat turun(makan an-nuzul), surat itu termasuk Madaniyyah karena diturunkan
sesudah Hijrah. Akan tetapi dalam Objek pembicaraan(mukhatahab) termasuk Makiyyah karena menjadi khitab bagi
orang-orang Makkah. Oleh karena itu, para Sarjan Muslim memasukkan surat itu
kedalam “Ma nuzila bil-Madinah wa hukmuhu
Makki”(ayat-ayat yang diturunkan di Madinah sedangkan muatan hukumnya termasuk
ayat-ayat yang diturunkan di Makkah).[15]
B.
Tanda-tanda Makki dan Madani
a. Tanda- tanda Makiyyah
1. Setiap surat yang didalamnya mengandung “ayat-ayat sajdah” adalah Makiyyah.
2. Setiap surat yang mengandung lafadz “Kalla” adalah Makiyyah. Lafadz ini
hanya terdapat dalam separo terakhir dari Al-Qur’an. Dan disebutkan sebanyak
tiga puluh tiga kali dalam lima belas surat.
3. setiap surat yang mengandung lafadz ”Yaa Ayyuhan-naasu” dan tidak mengandung
“Yaa Ayyuhal-ladzina Aamanu” adalah
Makiyyah. Kecuali surat Al-Hajj yang pada akhir suratnya[16]
terdapat kalimat “Yaa Ayyuhal-ladzina
Aamanur-ka’uu wasjuduu” . namun demikian, sebagian besarr Ulama’
berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makiyyah.
4. Setiap surat yang mengandung kisah para
nabi dan umat terdahulu adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Baqarah.
5. Setiap surat yang mengandung kisan nabi
Adam dan Iblis adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Baqarah.
6. Setiap surat yang dibuka dengan
huruf-huruf muqatha’ah atau hija’I, seperti
Alif Lam Mim, Alif Lam Ra’, Ha Mim dan
lainnya, adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Baqarah dan Al-Imran. Adpun surat
Ar-Ra’dul masih diperselisihkan.
b. Tanda-tanda Madaniyyah
1. Setiap surat yang berisi hukum pidana, hukum warisan, hak-hak
perdata dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perdata serta
kemasyarakatan dan kenegaraan, termasuk Madaniyyah.
2. Setiap surat yang mengandung izin untuk berjihad, urusan-urusan
perang, hukum-hukumnya, perdamaian dan perjanjian, termasuk Madaniyyah.
3. Setiap surat yang menjelaskan hal ihwal orang-orang munafik
termasuk Madaniyyah, kecual surat Al-Ankabut yang di nuzulkan di Makkah. Hanya
sebelas ayat pertama dari surat tersebut yang termasuk Madaniyyah dan ayat-ayat
tersebut menjelaskan perihal orang-orang munafik.
4. Menjelaskan hukum-hukum amaliyyah dalam masalah ibadah dan
muamalah, seperti shalat, zakat, puasa, haji, qisas, talak, jual beli, riba,
dan lain-lain.
5. Sebagian surat-suratnya panjang-panjang, sebagian ayat-ayatnya
panjang-panjang dan gaya bahasanya cukup jelas dalam menerangkan hukum-hukum
agama.
C.
Cara-cara menentukan Makki dan Madani
Untuk mengetahui dan menentukan Makiyyah
dan Madaniyyah, para Ulama’ bersandar pada dua cara utama:
1. Sima’I
naqli (pendengaran seperti apa adanya) dan
2.
Qiyasi ijtihadi (bersifat
ijtihad).
Cara pertama didasarkan pada riwayat
shahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu,
atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana,
dimana, dan peristiwa apa yang berkaitan dengan
turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan Makiyyah dan Madaniyyah itu
didasarkan pada cara yang pertama ini.
Namun demikian,
semua itu tidak terdapat sedikitpun keterangan dari Rasulullah, karena
ia tidak termasuk dalam kewajiban, kecuali terdapat dalam batas yang membedakan
mana yang nasikh dan mana yang mansukh. Al-Qadhi Abu Bakar bin Ath-Thayib
Al-Baqillani dalam Al-Intishar menegaskan, “Pengetahuan tentang Makiyyah dan
Madaniyyah itu mengacu pada hafalan para sahabat dan tabi’in. tidak ada satupun
keterangan dari Rasulullah mengenai hal itu, karena Beliau tidak diperintahkan
untuk itu, dan Allah tidak menjadikan Ilmu Pengetahuan itu sebagai kewajiban
umat. Bahkan sekalipun sebagian pengetahuannya dan pengetahuan mengenai sejarah
nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak
harus diperoleh melalui nash dari Rasulullah.”[17]
Cara kedua didasarkan pada cirri-ciri Makiyyah
dan Madaniyyah. Apabila dalam surat Makiyyah terdapat suatu ayat yang
mengandung sifat Madani atau mengandung
peristiwa Madani, maka dikatakan bahwa ayat itu Madaniyyah. Dan apabila surat
dalam Madaniyyah terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Makki atau
mengandung peristiwa Makkki, maka yat tadi dikatakan sebagai ayat Makiyyah.
Bila dalam surat terdapat cirri-ciri Makiyyah, maka surat itu dinamakan surat
Makiyyah. Demikian pula bila dalam satu surat terdapat cirri-ciri Madaniyyah,
maka surat itu dinamakan surat Madaniyyah. Inilah yang disebut Qiyas Ijtihadi.
Oleh karena itu, para ahli mengatakan, “ setiap
surat yang didalamnya ada kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, maka surat
itu adalah Makiyyah. Dan setiap surat yang didalamnya mengandung kewajiban atau
ketentuan hokum, maka surat itu adalah Madaniyyah.” Al-Ja’bari mengatakan,
“untuk mengetahui Makiyyah dan Madaniyyah ada dua cara; sima’i(pendengaran) dan qiyasi
(analogi).”[18]
Sudah tentu Sima’I pegangannya berita
pendengaran, sedangkan Qiyasi
berpegang pada penalaran. Baik berita pendengaran maupun penalaran, keduanya
merupakan metode pengetahuan yang valid dan metode peneliian ilmiah.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Pengetahuan
tentang ayat-ayat Makkah dan Madinah merupakan bagian yang terpenting dalam ‘Ulum Qur’an. Hal ini bukan saja
merupakan kepentingan kesejarahan melainkan juga untuk memahami dan menafsirkan
ayat-ayat yang bersangkutan.
Sebagaian
surat di dalam Al-Qur’an berisi ayat-ayat dari kedua periode tersebut dan dalam
beberapa hal muncul perbedaan pendapat dari kalangan para ulama tentang
klasifikasi ayat-ayat tertentu. Bagaimanapun juga secara keseluruhan memang
sudah berhasil disusun suatu pola pemisahan (pembagian) yang sudah mapan, dan
telah digunakan secara meluas secara ilmu tafsir, dan dijabarkan dari bukti-bukti
internal yang ada dalam Teks al-Quran itu sendiri.
Definisi Makki dan Madani oleh para ahli tafsir
meliputi berdasarkan Massa
turun (zaman an-nuzul), Tempat turun
(makan an-nuzul), Objek pembicaraan (mukhatahab), Tema pembicaraan (maudu’).
Adapun kegunaan mempelajari Ilmu ini antara lain agar dapat
membedakan ayat-ayat nasikh dan mansukh, mengetahui ciri khas gaya bahasa
Makiyyah dan Madaniyyah dalam Al-Qur’an. Dan untuk dijadikan alat bantu dalam
menafsirkan Al-Qur’an, sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat
membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar,
sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang
khusus.
B.
Referensi
1. Syaikh Manna’ Al-Qaththan ,Pengantar
Studi Al-Qur’an. Penerjemah H.Aunur El-Mazni,Lc.MA.
2. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag.Pengantar Ulumul
Qur’an.
3. Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an
4. Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an
5. Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an
[1]
Seperti diriwayakan tentang beberapa surat dan
ayat, misalnya surat Al-An’am, Al-Fatihah dan
ayat Kursi.
[4] Manna Al-Qathan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat
Al-Ashr Al-Hadis, ttp.,1973, hlm 61-62; Subhi Ash-Shalih, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an Dar-Al-Qalam li Al-Malyyih, Beirut,
1998, hlm 166.
[5] Badr Ad-Din
Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan
fi Ulum Al-Qur’an, jilid I, hlm.187; Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Fikr,
Beirut, t.t., jilid I, hlm.13-14; Al-Qathan, op.cit,hlm.61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar