Minggu, 03 Februari 2013

Makalah Ulumul Qur'an - Makiyah Madaniah


Surat Makiyah dan Madaniah
Makalah ini disusun guna  untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu
Abu Bakar M.Ag
STAIN PONOROGO.JPG
Oleh:
AHMAD SHUFFIDUNPRIMANADIN
210412012

Tafsir Hadits
Jurusan Ushuluddin
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONOROGO
DESEMBER 2012



BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang

Para Ulama’ antusias untuk menyelidiki surat-surat Makkiyah dan Madaniyah. Mereka meneliti Al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat untuk ditertibkan sesuai dengan turunnya, dengan memperhatikan waktu, tempat, dan pola kalimat. Lebih dari itu, mereka mengumpulkan antara waktu, tempat dan pola kalimat. Cara demikian merupakan suatu kecermatan yang memberikan kepada peneliti gambaran mengenai kebenaran ilmiah tentang ilmu Makkiyah dan Madaniyah. Itulah sikap Ulama’ kita dalam pembahasan-pembahasan terhadap Al-Qur’an dan juga masalah lain.
Tema-tema seputar Makki dan Madani ini sangat banyak ragam penyelidikannya. Abu Qasim Al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi menyebutkan dalam kitabnya At-Tanbih ‘Ala fadhli ‘Ulum Al-Qur’an, “ Bahwa di antara ilmu-ilmu Al-Qur’an yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzul Al-Qur’an dan wilayahnya, urutan turunnya di Makkah dan di Madinah, tentang hukumnya yang diturunkan di Makkah tetapi mengandung hukum Madani dan sebaliknya; yang diturunkan di Makkah, tetapi menyangkut penduduk Madinah dan sebaliknya; serupa dengan yang diturunkan di Makkah, tetapi pada dasarnya termasuk Madani dan sebaliknya. Juga tentang yang diturunkan di Juhfah, di Baitul Maqdis, di Tha’if maupun Hudaibiyyah. Demikian juga tentang yang diturunkan diwaktu malam, diwakktu siang: diturunkan secara bersama-sama,[1]atau yang turun secara tersendiri: ayat-ayat Madaniyah dalam surat-surat Makkiyah; ayat-ayat Makkiyah dalam surat-surat Madaniyah; yang dibawa dari Makkah ke Madinah dan sebaliknya; dan yang dibawa dari Madinah ke Habasyah;[2] yang diturunkan dalam bentuk global dan yang telah dijelaskan; serta yang diperselisihkan sehingga sebagian orang mengatakan Madani dan sebagian lagi mengatajan Makki. Itu semua ada dua puluh lima macam. Orang yang tidak mengetahuinya dan tak dapat membeda-bedakannya, ia tidak berhak berbicar tentang Al-Qur’an.[3]
           

BAB II
Pembahasan
A.    Pengertian Ilmu Makki dan Madani
Para Sarjana Muslim mengemukakan empat perspektif dalam mendefinisikan terminology Makki(Makiyyah) dan Madani(Madaniyah). Keempat perspektif itu adalah:
1.      Massa turun (zaman an-nuzul)
2.      Tempat turun (makan an-nuzul)
3.      Objek pembicaraan (mukhatahab)
4.       Tema pembicaraan (maudu’).[4]

1)      Dari perspektif Masa turun(zaman an-nuzul), mereka mendefinisikan kedua terminology diatas sebagai berikut;
Makiyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun tidak turun di Makkah. Sedangkan,
Madaniyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun tidak turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut Madaniyya walaupun turun di Makkah atau Arafah.[5]
Dengan demikian, surat An-Nisa’[4:58][6] termasuk kategori Madaniyyah kendatipun diturunkan di Makkah, yaitu pada peristiwa terbukanya kota Makkah (fath al-Makkah). Begitu pula surat Al-Ma’idah[5:3][7] termasuk kategori Madaniyyah kendatipun tidak diturunkan di Madinah karena ayat ini diturunkan pada peristiwa haji wada’.[8]

2)      Dari perspektif Tempat turun(makan an-nuzul), mereka mendefinisikan kedua terminology diatas sebagai berikut;
Makiyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan di madinah dan sekitarnya, seperti Mina,Arafah, dan Hudaibiyyah. Sedangkan,
Madaniyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud,Quba’ dan Sul’a.[9]
Terdapat celah kelemahan dalam pendefinisian di atas sebab terdapat ayat-ayat tertentu,yang tidak diturunkan di Makkah dan Madinah dan sekitarnya. Misalnya surat At-Taubah[9:42][10] diturunkan di Tabuk, surat Az-Zukhruf[43:45][11] diturunkan di Bait Al-Muqadas, dan surat Al-Fath[48] diturunkan ditengah perrjalanan antara Makkah dan Madinah. Ketiga ayat di atas, jika melihat definisi yang kedua, maka tidak dapat di kategorikan dalam Makiyyah dan Madaniyyah.

3)      Dari perspektif Objek pembicaraan(mukhatahab), mereka mendefinisikan kedua terminology diatas sebagai berikut;
Makiyyah ialah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang makkah. 
Sedangkan,
Madaniyyah ialah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Madinah.[12]
Pendefinisian di atas dirumauskan oleh para Sarjana Muslim berdasarkan asumsi bahwa kebanyakan ayat Al-Qur’an yang dimulai dengan lafadz”Yaa Ayyuhan-naasu” menjadi criteria Makiyyah. Dan lafadz “Yaa Ayyuhal-ladziina” menjadi criteria Madaniyyah. Namun, tidak selamanya asumsi tersebut benar. Misalnya surat Al-Baqarah[2] termasuk kategori Madaniyyah, padahal didalamnya ada salah satu, yaitu ayat 21 dan 168[13] dimulai dengan lafadz  ”Yaa Ayyuhan-naasu”. Banyak pula ayat Al-Qur’an yang tidak dimulai dengan dua lafadz diatas.

4)      Adapun pendefinisian Makiyyah dan Madaniyyah dari perspektif tema pembicaraan, akan disinggung lebih terinci dalam uraian karakteristik kedua klasifikasi tersebut.
Kendatipun menggunggulkan pendefinisian Makiyyah dan Madaniyyah dari perspektif Masa turun, Subhi Shalih melihat komponen-komponen serupa dalam tiga pendefinisian di atas. Pad ketiga pendefinisian ini terkandung komponen masa, tempat dan orang.[14] Bukti lebih lanjut dari tesis Subhi Shalih di atas dapat dilihat dalam kasus surat Al-Mumtahanah[60]. Bila dilihat dari perspektif  Tempat turun(makan an-nuzul), surat itu termasuk Madaniyyah karena diturunkan sesudah Hijrah. Akan tetapi dalam Objek pembicaraan(mukhatahab) termasuk Makiyyah karena menjadi khitab bagi orang-orang Makkah. Oleh karena itu, para Sarjan Muslim memasukkan surat itu kedalam “Ma nuzila bil-Madinah wa hukmuhu Makki”(ayat-ayat yang diturunkan di Madinah sedangkan muatan hukumnya termasuk ayat-ayat yang diturunkan di Makkah).[15]

B.     Tanda-tanda Makki dan Madani

a.       Tanda- tanda Makiyyah

1.      Setiap surat yang didalamnya mengandung “ayat-ayat sajdah” adalah Makiyyah.
2.      Setiap surat yang mengandung lafadz “Kalla” adalah Makiyyah. Lafadz ini hanya terdapat dalam separo terakhir dari Al-Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surat.
3.      setiap surat yang mengandung lafadz ”Yaa Ayyuhan-naasu” dan tidak mengandung “Yaa Ayyuhal-ladzina Aamanu” adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Hajj yang pada akhir suratnya[16] terdapat kalimat “Yaa Ayyuhal-ladzina Aamanur-ka’uu wasjuduu” . namun demikian, sebagian besarr Ulama’ berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makiyyah.
4.      Setiap surat yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Baqarah.
5.      Setiap surat yang mengandung kisan nabi Adam dan Iblis adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Baqarah.
6.      Setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf muqatha’ah atau hija’I, seperti  Alif Lam Mim, Alif Lam Ra’, Ha Mim dan lainnya, adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Baqarah dan Al-Imran. Adpun surat Ar-Ra’dul masih diperselisihkan.

b.      Tanda-tanda Madaniyyah

1.      Setiap surat yang berisi hukum pidana, hukum warisan, hak-hak perdata dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perdata serta kemasyarakatan dan kenegaraan, termasuk Madaniyyah.
2.      Setiap surat yang mengandung izin untuk berjihad, urusan-urusan perang, hukum-hukumnya, perdamaian dan perjanjian, termasuk Madaniyyah.


3.      Setiap surat yang menjelaskan hal ihwal orang-orang munafik termasuk Madaniyyah, kecual surat Al-Ankabut yang di nuzulkan di Makkah. Hanya sebelas ayat pertama dari surat tersebut yang termasuk Madaniyyah dan ayat-ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang munafik.
4.      Menjelaskan hukum-hukum amaliyyah dalam masalah ibadah dan muamalah, seperti shalat, zakat, puasa, haji, qisas, talak, jual beli, riba, dan lain-lain.
5.      Sebagian surat-suratnya panjang-panjang, sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang dan gaya bahasanya cukup jelas dalam menerangkan hukum-hukum agama.

C.    Cara-cara menentukan Makki dan Madani

Untuk mengetahui dan menentukan Makiyyah dan Madaniyyah, para Ulama’ bersandar pada dua cara utama:
1.      Sima’I naqli (pendengaran seperti apa adanya) dan
2.      Qiyasi ijtihadi (bersifat ijtihad).

Cara pertama didasarkan pada riwayat shahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu, atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, dimana, dan peristiwa apa yang berkaitan dengan  turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan Makiyyah dan Madaniyyah itu didasarkan pada cara yang pertama ini.
Namun demikian,  semua itu tidak terdapat sedikitpun keterangan dari Rasulullah, karena ia tidak termasuk dalam kewajiban, kecuali terdapat dalam batas yang membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh. Al-Qadhi Abu Bakar bin Ath-Thayib Al-Baqillani dalam  Al-Intishar  menegaskan, “Pengetahuan tentang Makiyyah dan Madaniyyah itu mengacu pada hafalan para sahabat dan tabi’in. tidak ada satupun keterangan dari Rasulullah mengenai hal itu, karena Beliau tidak diperintahkan untuk itu, dan Allah tidak menjadikan Ilmu Pengetahuan itu sebagai kewajiban umat. Bahkan sekalipun sebagian pengetahuannya dan pengetahuan mengenai sejarah nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak harus diperoleh melalui nash dari Rasulullah.”[17]
Cara kedua didasarkan pada cirri-ciri Makiyyah dan Madaniyyah. Apabila dalam surat Makiyyah terdapat suatu ayat yang mengandung  sifat Madani atau mengandung peristiwa Madani, maka dikatakan bahwa ayat itu Madaniyyah. Dan apabila surat dalam Madaniyyah terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Makki atau mengandung peristiwa Makkki, maka yat tadi dikatakan sebagai ayat Makiyyah. Bila dalam surat terdapat cirri-ciri Makiyyah, maka surat itu dinamakan surat Makiyyah. Demikian pula bila dalam satu surat terdapat cirri-ciri Madaniyyah, maka surat itu dinamakan surat Madaniyyah. Inilah yang disebut Qiyas Ijtihadi.
Oleh karena itu, para ahli mengatakan, “ setiap surat yang didalamnya ada kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, maka surat itu adalah Makiyyah. Dan setiap surat yang didalamnya mengandung kewajiban atau ketentuan hokum, maka surat itu adalah Madaniyyah.” Al-Ja’bari mengatakan, “untuk mengetahui Makiyyah dan Madaniyyah ada dua cara; sima’i(pendengaran) dan qiyasi (analogi).”[18] Sudah tentu Sima’I pegangannya berita pendengaran, sedangkan Qiyasi berpegang pada penalaran. Baik berita pendengaran maupun penalaran, keduanya merupakan metode pengetahuan yang valid dan metode peneliian ilmiah.     











BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan
            Pengetahuan tentang ayat-ayat Makkah dan Madinah merupakan bagian yang terpenting dalam ‘Ulum Qur’an. Hal ini bukan saja merupakan kepentingan kesejarahan melainkan juga untuk memahami dan menafsirkan ayat-ayat yang bersangkutan.
            Sebagaian surat di dalam Al-Qur’an berisi ayat-ayat dari kedua periode tersebut dan dalam beberapa hal muncul perbedaan pendapat dari kalangan para ulama tentang klasifikasi ayat-ayat tertentu. Bagaimanapun juga secara keseluruhan memang sudah berhasil disusun suatu pola pemisahan (pembagian) yang sudah mapan, dan telah digunakan secara meluas secara ilmu tafsir, dan dijabarkan dari bukti-bukti internal yang ada dalam Teks al-Quran itu sendiri.
Definisi Makki dan Madani oleh para ahli tafsir meliputi berdasarkan Massa turun (zaman an-nuzul), Tempat turun (makan an-nuzul), Objek pembicaraan (mukhatahab),  Tema pembicaraan (maudu’).
Adapun kegunaan mempelajari Ilmu ini antara lain agar dapat membedakan ayat-ayat nasikh dan mansukh, mengetahui ciri khas gaya bahasa Makiyyah dan Madaniyyah dalam Al-Qur’an. Dan untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus.

B.     Referensi

1.      Syaikh Manna’ Al-Qaththan ,Pengantar Studi Al-Qur’an. Penerjemah H.Aunur El-Mazni,Lc.MA.
2.       Dr. Rosihon Anwar, M.Ag.Pengantar Ulumul Qur’an.
3.      Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an
4.      Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an
5.      Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an




[1] Seperti diriwayakan tentang beberapa surat dan ayat, misalnya surat Al-An’am, Al-Fatihah dan  ayat Kursi.
[2] Habasyah : Abesinia, atau Ethiopia sekarang.(Edt.)
[3] Lihat Al-Itqan fi “ulum Al-Qur’an oleh As-Suyuthi, c et. Ke 3, Al-Halabi,1/8
[4] Manna Al-Qathan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-Ashr Al-Hadis, ttp.,1973, hlm 61-62; Subhi Ash-Shalih, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an Dar-Al-Qalam li Al-Malyyih, Beirut, 1998, hlm 166.
[5] Badr Ad-Din Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, jilid I, hlm.187; Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., jilid I, hlm.13-14; Al-Qathan, op.cit,hlm.61
[6] Lihat Bunyi ayatnya  di Al-Qur’an.
[7] Lihat Bunyi ayatnya  di Al-Qur’an.
[8] Al-Qathan,Op. Cit., hlm.61
[9] Ibid, hlm.62
[10] Lihat Bunyi ayatnya  di Al-Qur’an.
[11] Lihat Bunyi ayatnya  di Al-Qur’an.
[12] Al-Qathan, Loc. cit
[13] Lihat Bunyi ayatnya  di Al-Qur’an.
[14] Ash-Shalih, op. cit. hlm.168
[15] Az-Zarkasyi, op. cit, hlm.195
[16] Sebelum ayat yang terakhir, yaitu ayat :77
[17] Lihat Al-Itqan, 1/9
[18] Ibid.1/17